Langsung ke konten utama

Tari Cokek

Ulasan Buku Kumpulan Cerpen T(w)ITIT! karya Djenar Mahesa Ayu





Djenar Maesa Ayu lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Ia telah menerbitkan empat kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, dan sebuah novel  berjudul  Nayla. Cerpennya yang berjudul “Menyusu Ayah” menjadi cerpen terbaik Jurnal Perempuan 2003, sementara “Waktu Nayla” meraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas di tahun yang sama. Selain menulis, Djenar juga menyutradai film Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008) dan SAIA (2009). Ia mendapat Piala Citra dari kategori Skenario Adaptasi Terbaik bersama Indra Herlambang dan sebagai Sutradara Baru Terbaik pada Festival Film Indonesia 2009. Kumpulan cerpen T(w)ITIT! adalah buku keenam Djenar. Buku Djenar ini dibuat sebagai hadiah ulang tahun untuknya sendiri. Semua cerita yang terdapat dalam kumpulan cerpen pada buku T(w)ITIT dikembangkan berdasarkan status-status jejaring sosial Twitter. Kumpulan cerpen ini terdiri dari 11 status twitter yang kemudian dikembangkannya menjadi 11 judul cerpen.

Status pertama adalah kematian tak akan pernah bisa mati  yang dikembangkannya menjadi sebuah cerpen yang berjudul UGD. Cerpen UGD menceritakan tentang Nayla dan seseorang bernama Sumali yang ingin bertemu di sebuah kafe, namun pertemuan mereka terhambat oleh beberapa hal yang pada akhirnya berujung di rumah sakit. Dalam cerpen ini terdapat hal yang menarik dari segi penulisan cerpen. Pada kalimat awal setiap paragraf, kata kerjanya selalu sama dengan kata kerja kalimat awal paragraf selanjutnya.  Sumali menunggu di sudut kafe dengan pelupuk mata yang semakin memberat sambil menggenggam secarik surat. Nayla menunggu di sudut ruang tunggu Unit Gawat Darurat sambil menggenggam secarik surat. Seperti yang terihat pada contoh paragraf dalam cerpen UGD, kedua kalimat tersebut memiliki kata kerja yang sama, yaitu menunggu dan menggenggam.

Status twitter yang kedua adalah deeper than my fear of what might happen to this country is my despair yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah cerpen yang berjudul Nayla. Cerpen Nayla di sini hanya menceritakan kejadian perkosaan terhadap diri Nayla saat masih kecil. Yang menarik dari cerpen ini adalah kesamaan antara paragraph awal dengan paragraph mejelang akhir. Kesamaan ini terjadi juga pada beberapa cerpen yang lain seperti Mimpi Nayla, Kosong, dan Petasan, Setan.

Status twitter ketiga adalah bagaimana mungkin mengelak dari luka dan kebahagiaan, pertemuan dan perpisahan, jika kita tak kuasa memilih kelahiran dan menunda kematian? Yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah cerpen yang berjudul Mimpi Nayla. Menceritakan tentang Nayla yang saat itu sudah memiliki seorang cucu, ia bermimpi bahwa saat perjalanan keluarga besan, anak-anak, dan cucunya pergi ke Eropa. Dan beberapa saat setelahnya dia mendengar kabar bahwa pesawat yang ditumpangi keluarganya jatuh dan menewaskan semua penumpangnya.

Keempat, status twitternya kehilangan adalah proses awal menemukan yang dikembangkannya menjadi sebuah cerpen berjudul Jinxie. Menceritakan tentang perdebatan Nayla dengan seseorang yang tidak setuju dengan cerita buatan Nayla. Orang itu menganggap karya yang Nayla buat terlalu rendah, Nayla yang membuat karya itu berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri merasa terhina dan akhirnya melanjutkan perdebatan itu dengan pertengkaran. Perdebatan dan pertengkaran itu dihiasi dengan umpatan-umpatan kata-kata “anjing” yang membuat Nayla menjadi murka. Nayla yang tidak bisa menahan emosinya pergi menemui anjing kecil di pinggir jalan yang menjadi saksi bisu atas rahasia Nayla.

Kelima, status twitternya status twitter oleh beberapa orang sering ditenggarai sebagai isyarat. Sorry, kamu salah alamat! dikembangkannya menjadi cerpen T(w)ITIT!. Menceritakan tentang kehidupan Nayla sebagai seorang single parent yang diburu oleh deadline naskah yang dibuatnya ditambah berbagai permasalahan seperti kebutuhan sekolah anak semata wayangnya dan masalah salah paham pada status-status di twitternya. Cerpen yang dibuat Djenar ini pada awalnya berawal dari status twitternya yang sering dibalas dan diteruskan oleh para pembacanya,namun ada saja beberapa orang yang salah mengartikan status-status tersebut hingga membuat pembaca-pembacanya menjadi besar hati.

Keenam, status twitternya I believe in love without proof yang kemudian dikembangkan menjadi cerpen Kosong. Menceritakan tentang proses berpikir Nayla saat menulis yang dilakukannya di sebuah kafe dengan ditemani secangkir kopi. Di sana Nayla sering mendapat pertanyaan “mengapa selalu di kafe ini?” Karena Nayla sering menghabiskan waktunya dengan secarik kertas kosong bersama secangkir kopi di kafe tersebut, entah nantinya ia menulis atau tidak. Bahkan ia bisa berdiam di kafe tersebut hingga kafe menjelang tutup, hanya karena suasananya nyaman untuk menulis. Gaya penceritaan pada cerpen ini sama halnya dengan cerpen Nayla dan Mimpi Nayla, yaitu mengulang paragraf awal di bagian menjelang akhir cerpen.

Ketujuh, status twitternya Bung, di hari ulang tahunmu yang cerah ini ada segumpal awan yang mengandung mendung. Mungkin ia tahu, saya masih berkabung dikembangkannya menjadi sebuah cerpen berjudul Bung. Cerpen ini menceritakan tentang Nayla yang mengingat-ingat tentangg ayahnya yang meninggal saat Nayla masih kecil. Ibunya menceritakan bahwa Ayah Nayla meninggal saat ia berumur 1 tahun, namun setelah Nayla mengingat kembali tahun pada batu nisan makam Ayahnya, ia baru mengetahui sebuah kenyataan karena hanya sekali ia diajak mengunjungi makam Ayahnya yang bernama Bungsuman. Ayah Nayla yang bernama Bungsuman telah meninggal sejak Nayla berumur 7 tahun, dan itu selalu ditutupi oleh ibunya.

Kedelapan, status twitternya jika ada anak panah yang menusukmu, berharaplah itu bukan berasal dari busur jenuhku yang dikembangkannya menjadi sebuah cerpen berjudul It Takes Two to Tattoo. Menceritakan perdebatan Nayla dengan Gery tentang masalah tato. Nayla menganggap tato itu hanya menyiksa diri. Perdebatan yang menjadi tambah sengit akhirnya membuat Nayla berdebat pula dengan imajinasinya dengan membayangkan Gery yang tergeletak tanpa suara bersimbah darah terkena peluru dan Nayla meninggalkannya.

Kesembilan, status twitternya we’re not born to be something we’re not yang dikembangkannya menjadi cerpen berjudul Check In. menceritakan tentang perselingkuhan suaminya yang bernama Astina. Saat Astina hendak pergi ke sebuah kamar yang sering dipakai pacaran pada malam minggu, mobilnya tertabrak oleh mobil di belakangnya. Setelah diperhatikan, ternyata yang mengendarai mobil itu adalah Nayla dan disebelahnya terdapat seorang lelaki. Mereka juga ternyata menuju tempat pasangan muda-mudi singgah pada malam minggu.

Kesepuluh, status twitternya jadilah mimpi, yang menyelinap saat ia tak sadar diri dan terbangun tanpa tahu jika hatinya telah tercuri yang dikembangkannya menjadi sebuah cerppen berjudul Petasan, Setan!. Cerita ini menceritakan tentang kehidupan yang tidak pernah tenang dan damai. Ia tidak pernah bisa tidur dengan aman dan nyaman sama penggambarannya dalam cerpen. Dalam cerpen kenyamanan tidurnya terganggu oleh bunyi-bunyi bising petasan hari raya. Sama seperti bisingnya masalah dalam hidup Nayla.
Kesebelas, status twitternya hidup bukan untuk mencari perhentian tapi untuk melakukan perjalanan yang dikembangkannya menjadi sebuah cerpen berjudul Coffeewar. Cerpen ini menceritakan tentang pertengkaran Nayla dengan Dia. Pertengkaran ini diawali dengan umpatan-umpatan yang dilontarkan oleh Dia kepada para pengendara lain saat lalu lintas padat. Dan setelah mereka jauh, Nayla merasa kehilangan dan mulai timbul kerinduan untuk kembali merasakan cinta.

Buku kumpulan cerpen T(w)ITIT! yang ditulis Djenar ini, dibuat disela ia menyiapkan sebuah novel yang berjudul Ranjang. Ia menyempatkan diri membuat kumpulan cerpen ini sebagai hadiah ulang tahunnya sendiri, bahkan 10 dari 11 cerpen-cerpen tersebut ia buat dalam waktu sepuluh hari.  Djenar memang sebagai penulis memiliki kelebihan dalam meluapkan emosinya ke dalam karya sastra. Ia menetralisir hal-hal tabu yang menjamur di masyarakat ke dalam cerpennya, mengubah pola pikir masyarakat tentang kepribadian seorang wanita. Memang terkadang ada beberapa cerpen yang ditentang segelintir orang karena dianggap mengandung unsur-unsur pornografi.  Kesepian, kehampaan, cinta yang bertepuk sebelah tangan, pengkhianatan, perselingkuhan, hubungan cinta yang berada di ambang keraguan, dan berbagai perasaan murung yang menimpa anak manusia melatari fragmen cerita.

Relasi antartokoh pun menjadi sesuatu yang rapuh dan muram. Tema di atas diperkuat dengan hadirnya kafe sebagai latar spesial yang mendominasi sebagian besar cerpen, seperti banyak karya Djenar Maesa Ayu lainnya. Kafe menjadi arena pertarungan para tokohnya. Di dalamnya, tokoh-tokoh Djenar, manusia-manusia kelas menengah kota yang kesepian itu, berhadapan satu lawan satu dengan dirinya sendiri. Bersama gelas-gelas bir, terkadang secangkir kopi, mereka bertarung dan bernegosiasi dengan kenangan.

Melalui karya-karyanya, kita dapat mengetahui bahwa Djenar memperjuangkan hak-hak perempuan (khususnya dalam hal seks). Djenar menggambarkan tokoh Nayla sebagai perempuan yang menolak berhubungan seks untuk ‘memberi kenikmatan’, namun sebagai ‘pencari kenikmatan’. Ia menggeser paradigma kaum patriarki yang menganggap kaum perempuan hanya sebatas untuk pemuas kaum lelaki dan ada hanya untuk melayani kaum lelaki. Djenar dengan Naylanya melakukan pemberontakan terhadap paham tersebut secara keras dan berhasil menjungkir balikan keadaan dengan karya-karya yang Djenar tulis.

Selain itu, kecerdikan Djenar yang patut diacungi jempol adalah gaya penceritaannya. Ia kerap menampilkan kebaruan dalam penceritaan, walaupun terkadang masih ada beberapa gaya penulisannya yang sama dan biasa. Seperti pada cerpen Nayla, Mimpi Nayla, Kosong, Petasan, Setan, dan Coffeewar. Ia menampilkan kesamaan paragraf pada awal dan menjelang akhir dengan tetap mengemas cerita dengan sangat menarik.

Gaya penceritaannya yang lebih menarik terdapat pada cerpen UGD. Setiap dua paragraph, kalimat pembukanya memiliki kesamaan kata kerja, namun berbeda keadaan. Hal ini dikemasnya dengan sangat baik menjadi sebuah runtutan cerita yang membuat pembaca berdecak kagum. Ide-ide yang dikembangkannya dari kumpulan status twitter menjadi sebuah cerpen juga menarik. Djenar bukan hanya mengembangkan mentah-mentah sebuah status menjadi cerpen, tetapi ia menyiratkan makna status ke dalam makna cerpen. Oleh karena itu meskipun ada beberapa karya Djenar yang sulit untuk dimengerti, dapat kita mengerti setelah membaca dan memaknai status twitternya terlebih dahulu.

Contohnya status twitter Djenar Bung, di hari ulang tahunmu yang cerah ini ada segumpal awan yang mengandung mendung. Mungkin ia tahu, saya masih berkabung yang dikembangkan Djenar menjadi cerpen berjudul Bung. Bagi yang tidak memaknai status twitternya terlebih dahulu, mungkin mereka hanya akan menganggap cerpen ini hanya dimaknai secara tekstual, tentang Ayah Nayla yang bernama Bungsuman. Namun setelah membaca statusnya dan mencermati bukunya baik-baik, saya mengetahui bahwa ada dua ‘Bung’ dalam kehidupan Djenar. ‘Bung’ yang terdapat pada cerpen sebagai Bungsuman (Ayah Nayla) dan ‘Bung’ Sjuman Djaya (Ayah Djenar).

Semua yang memiliki kelebihan pasti memiliki kekurangan tentunya, begitu juga dengan buku kumpulan cerpen Djenar yang berjudul T(w)ITIT! ini. Kekurangan yang dapat di tangkap adalah tentang tokoh-tokoh utama dalam karya Djenar. Ide dalam mengemas sebuah cerpen memang saya akui sangat hebat, namun tentang isi ceritanya yang membuat jenuh menjadi kekurangan dalam karya-karya Djenar. Dalam beberapa kumpulan cerpen yang dibuat Djenar, mengapa tokoh Nayla selalu ada? Mengapa hanya Nayla? Hal ini menimbulkan segudang pertanyaan untuk dicermati. Jika memang setelah ini tokoh Nayla muncul kembali, berarti bisa dipastikan Djenar Maesa Ayu itu hanya ‘mentok’ pada Nayla. Sangat disayangkan penulis cerdas seperti Djenar dibatasi oleh tokoh Nayla, yang padahal seharusnya ia bisa membuat cerita-cerita lain yang tidak kalah hebatnya dengan Nayla, malahan ada kemungkinan karya itu menjadi lebih dari Nayla. 

Terlepas dari masalah perubahan tersebut, pastinya Djenar bukan orang yang mudah ‘mentok’ dalam setiap ide cerita. Mungkin saja ia memang ingin mempertahankan ideologinya tentang pemberontakan persamaan hak dengan dibantu oleh tokoh Nayla. Itu pun tidak menjadi permasalahan jika konflik-konflik yang sudah terjadi diubah. Mungkin ini dilakukan Djenar sebagai pencirian feminisnya. Seperti penulis-penulis feminis lain yang sudah mendapatkan jati diri atau penciriannya sendiri atau pun bagi penulis feminis yang masih mencari jati diri penciriannya.

Komentar