Apa yang terpikir oleh kalian ketika mendengar tarian khas Betawi? Para penikmat seni pasti langsung terbayang Tari Yapong, Tari Topeng Betawi, Tari Sirih Kuning, dan Tari Japin Betawi. Tari-tarian tersebut memang tari khas Betawi yang terkenal. Lalu, bagaimana dengan tari lain yang kurang terekspos seperti Tari Cokek?
Tari Cokek merupakan tari klasik yang terkenal di masyarakat Betawi tempo doeloe. Jakarta merupakan salah satu kota pelabuhan yang terkenal di Indonesia. Hal ini menyebabkan banyak para pedagang dari negeri tetangga singgah dan tak jarang pula ada yang menetap di Jakarta. Sehingga banyak terjadi akulturasi di Jakarta, bahkan hingga sekarang Jakarta merupakan kota yang paling banyak percampuran suku dan budaya.
Akulturasi tersebut menyebabkan banyak budaya luar memengaruhi tradisi asli dari masyarakat Betawi. Baik itu dari segi seni, budaya, bahasa, dan perilaku masyarakatnya.
Asal usul Tari Cokek bermula dari seorang tuan tanah keturunan Tionghoa yang bernama Tan Sio Kek yang mengadakan pesta di rumahnya. Dalam pesta ini, tuan tanah menyuguhkan permainan musik khas Tionghoa dengan instrumen rebab dua dawai yang dipadukan dengan alat musik tradisional Betawi, di antaranya gong, suling, dan kendang. Para tamu yang datang pun diajak untuk turut serta menari dalam iringan musik.
Terkait penamaan, ada yang bilang nama Tari Cokek berasal dari selendang yang dipakai oleh penari dan ada juga yang berpendapat nama tersebut diambil dari nama si tuan tanah Tan Sio Kek. Jika dilafalkan oleh masyarakat Betawi menjadi Sokek atau Cokek.
Sebelum menari, para penari akan dirias terlebih dahulu sebelum mereka tampil di panggung. Rambut mereka disisir rapih ke belakang, dikuncir, atau disanggul lengkap dengan hiasan kembang goyang. Selain hiasan kembang goyang, hiasan lain yang biasa dipakai adalah hiasan kepala burung hong.
Busana yang dikenakan biasanya terdiri dari baju adat Betawi, seperti baju kurung dan celana hitam berbahan satin atau sutra. Warna busana yang dikenakan pun harus warna yang mencolok seperti warna merah, hijau, kuning, atau ungu. Properti lain yang digunakan adalah selendang yang bernama Cokek.
Jumlah penari dalam Tari Cokek awalnya berjumlah 3 orang, namun saat ini jumlahnya semakin bervariasi, mulai dari 5 sampai 7 orang. Tari Cokek di awali dengan iringan musik gambang kromong bersamaan dengan masuknya para penari wanita.
Gerakan dilanjutkan dengan paduan unsur tari tradisional Tiongkok, Sunda, Betawi, bahkan pencak silat. Gerakan ini dilanjutkan hingga ada salah satu penari yang mengajak tamu yang hadir untuk ikut menari. Penari akan mengalungkan selendang ke tamu undangan yang akan diajak untuk menari (ngibing). Biasanya yang diajak pertama kali adalah tamu undangan.
Tari Cokek ini digunakan sebagai hiburan untuk masyarakat Jakarta. Selain itu, sering juga digunakan untuk penyambutan bagi tamu-tamu penting. Saat ini Tari Cokek sudah jarang dipertunjukan di hadapan masyarakat, kecuali jika ada perayaan besar seperti ulang tahun kota Jakarta atau acara besar lain.
Setelah penjelasan sederhana tersebut, apakah ada yang tertarik untuk belajar dan melestarikan Tari Cokek?
Gambar: Cinta Indonesia |
Tari Cokek merupakan tari klasik yang terkenal di masyarakat Betawi tempo doeloe. Jakarta merupakan salah satu kota pelabuhan yang terkenal di Indonesia. Hal ini menyebabkan banyak para pedagang dari negeri tetangga singgah dan tak jarang pula ada yang menetap di Jakarta. Sehingga banyak terjadi akulturasi di Jakarta, bahkan hingga sekarang Jakarta merupakan kota yang paling banyak percampuran suku dan budaya.
Akulturasi tersebut menyebabkan banyak budaya luar memengaruhi tradisi asli dari masyarakat Betawi. Baik itu dari segi seni, budaya, bahasa, dan perilaku masyarakatnya.
Asal usul Tari Cokek bermula dari seorang tuan tanah keturunan Tionghoa yang bernama Tan Sio Kek yang mengadakan pesta di rumahnya. Dalam pesta ini, tuan tanah menyuguhkan permainan musik khas Tionghoa dengan instrumen rebab dua dawai yang dipadukan dengan alat musik tradisional Betawi, di antaranya gong, suling, dan kendang. Para tamu yang datang pun diajak untuk turut serta menari dalam iringan musik.
Terkait penamaan, ada yang bilang nama Tari Cokek berasal dari selendang yang dipakai oleh penari dan ada juga yang berpendapat nama tersebut diambil dari nama si tuan tanah Tan Sio Kek. Jika dilafalkan oleh masyarakat Betawi menjadi Sokek atau Cokek.
Sebelum menari, para penari akan dirias terlebih dahulu sebelum mereka tampil di panggung. Rambut mereka disisir rapih ke belakang, dikuncir, atau disanggul lengkap dengan hiasan kembang goyang. Selain hiasan kembang goyang, hiasan lain yang biasa dipakai adalah hiasan kepala burung hong.
Busana yang dikenakan biasanya terdiri dari baju adat Betawi, seperti baju kurung dan celana hitam berbahan satin atau sutra. Warna busana yang dikenakan pun harus warna yang mencolok seperti warna merah, hijau, kuning, atau ungu. Properti lain yang digunakan adalah selendang yang bernama Cokek.
Jumlah penari dalam Tari Cokek awalnya berjumlah 3 orang, namun saat ini jumlahnya semakin bervariasi, mulai dari 5 sampai 7 orang. Tari Cokek di awali dengan iringan musik gambang kromong bersamaan dengan masuknya para penari wanita.
Gerakan dilanjutkan dengan paduan unsur tari tradisional Tiongkok, Sunda, Betawi, bahkan pencak silat. Gerakan ini dilanjutkan hingga ada salah satu penari yang mengajak tamu yang hadir untuk ikut menari. Penari akan mengalungkan selendang ke tamu undangan yang akan diajak untuk menari (ngibing). Biasanya yang diajak pertama kali adalah tamu undangan.
Tari Cokek ini digunakan sebagai hiburan untuk masyarakat Jakarta. Selain itu, sering juga digunakan untuk penyambutan bagi tamu-tamu penting. Saat ini Tari Cokek sudah jarang dipertunjukan di hadapan masyarakat, kecuali jika ada perayaan besar seperti ulang tahun kota Jakarta atau acara besar lain.
Setelah penjelasan sederhana tersebut, apakah ada yang tertarik untuk belajar dan melestarikan Tari Cokek?
Komentar
Posting Komentar